Beranda | Artikel
Bekerja Untuk Memenuhi Kebutuhan Diri dan Keluarga
Rabu, 6 Januari 2010

BEKERJA UNTUK MEMENUHI KEBUTUHAN DIRI DAN KELUARGANYA

Ahmad bercita-cita menjadi pedagang. Ketika saya ceritakan kepada teman-teman, mereka banyak yang menyayangkan mengapa ia tidak bercita-cita untuk menjadi ulama? Mengapa saya tidak mengarahkannya agar mengubah cita-citanya untuk menjadi ulama? Pertama, mungkin orangtua Ahmad telah mengarahkan anaknya agar ketika besar memilih menjadi pedagang. Sehingga saya merasa tidak berhak mengarahkan untuk bercita-cita kepada yang lain selama cita-citanya bukan maksiat.

Kedua, menurut saya tidak ada pertentangan antara menjadi pedagang dan ulama karena berapa banyak ulama-ulama Islam yang usahanya sebagai pedagang sebagaimana kita dapatkan dalam buku Siyar A’laam An-Nubalaa’ yang ditulis oleh Imam Adz-Dzahabi Rahimahullah. Nasihat untuk para orang tua hendaklah mengarahkan dan menumbuhkan minat anak agar memiliki cita-cita mulia dan disesuaikan dengan kebutuhan umat serta kemampuan dan bakat anak. Ketika anak sudah besar, janganlah memaksakan keinginan kepadanya, selama masih dalam batas-batas yang telah disebutkan di atas.

Diantara yang membantu seorang muslim pada umumnya dan seorang dai khususnya, dalam memelihara ilmu dan dirinya adalah dengan bekerja mencari nafkah dari jalan yang halal, seperti berdagang atau pekerjaan lainnya. Dengan bekerja, ia dapat memelihara kehormatan dirinya dengan tidak meminta-minta kepada orang lain serta tidak bergantung kepada manusia, tidak takut kepada mereka dan tidak menaruh harapan kepada mereka kecuali hanya kepada Allah.

Para nabi Alaihimush Salatu was sallam dalam menjalankan dakwah, mereka tidak meminta upah, tidak mengharapkan balasan ataupun ucapan terimakasih. Mereka bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Nabi Zakaria Alaihis sallam adalah seorang yang pandai dalam perkayuan. Nabi Daud Alaihis sallam adalah seorang yang pandai dalam hal besi. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ، وَإِنَّ نَبِيَّ اللهِ دَاوُدَ –عَلَيْهِ السَّلاَمُ- كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ. رواه البخاري

“Yang terbaik bagi seseorang dalam hal memakan makanan adalah dengan memakan dari hasil usahanya sendiri, dan sesungguhnya Nabi Allah Daud Alaihis Salam memakan dari hasil usahanya sendiri.”[1]

Pekerjaan yang mulia mendidik seseorang untuk bertawakal kepada Allah, melatih untuk menjadi orang yang rendah hati (tawadhu’) dan mendidik untuk menjadi orang yang bertanggungjawab.

Hendaklah ia, istri dan anak-anaknya menjadi orang yang qana’ah, selalu merasa cukup atas pemberian dan karunia Allah, jika mereka telah berdoa, berikhtiar dan berusaha dengan sungguh-sungguh. Hendaklah melihat orang yang berada di bawah kita dalam hal ekonomi dan urusan keduniaan. Sehingga selalu bersyukur kepada Allah atas segala nikmat-Nya yang tidak terhingga dan tidak terbilang.

Adapun dalam urusan ibadah, ilmu agama dan amal saleh lainnya hendaklah melihat orang yang berada di atas, sehingga terhindar dari ujub dan sombong. Bahkan kita harus selalu merasa sedikit dalam ibadah dan amal saleh. Dengan demikian akan memotifasi kita agar lebih giat lagi dalam mengoreksi diri dan berupaya selalu meluruskan niat serta meningkatkan ibadah dan amal saleh.

Dalam bekerja seperti berdagang atau lainnya, jangan sampai melalaikan seseorang dari kewajiban-kewajiban seperti salat, puasa, zakat, haji, berbakti kepada kedua orangtua, mendidik istri dan anak-anaknya, silaturahmi, menuntut ilmu agama dan lainnya. Hendaklah seorang muslim sadar bahwa tujuan yang hakiki dalam hidup di dunia adalah agar menjadi hamba Allah yang sejati, menjadikan dunia sebagai ladang untuk akhirat. Allah berfirman.

وَابْتَغِ فِيْمَآ اٰتٰىكَ اللّٰهُ الدَّارَ الْاٰخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَاَحْسِنْ كَمَآ اَحْسَنَ اللّٰهُ اِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِى الْاَرْضِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagiaanmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” [Al-Qashash/28: 77]

رِجَالٌ لَّا تُلْهِيْهِمْ تِجَارَةٌ وَّلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللّٰهِ وَاِقَامِ الصَّلٰوةِ وَاِيْتَاۤءِ الزَّكٰوةِ ۙيَخَافُوْنَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيْهِ الْقُلُوْبُ وَالْاَبْصَارُ ۙ لِيَجْزِيَهُمُ اللّٰهُ اَحْسَنَ مَا عَمِلُوْا وَيَزِيْدَهُمْ مِّنْ فَضْلِهٖۗ وَاللّٰهُ يَرْزُقُ مَنْ يَّشَاۤءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ

“Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan salat, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. (Mereka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas.” [An-Nuur/24: 37-38]

Memang dunia dengan segala keindahannya menarik hati manusia dan membuat mereka terpesona. Sedikit demi sedikit, tanpa sadar manusia rela menggadaikan akidah dan keimanannya untuk meraih ambisi berupa kenikmatan dunia yang semu dan melalaikan. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلاَ فِى غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِينِهِ. رواه أحمد والترمذي وغيرهما

“Dua ekor serigala yang lapar kemudian dilepas menuju seekor kambing, (maka kerusakan yang terjadi pada kambing itu) tidak lebih besar dibandingkan dengan kerusakan pada agama seseorang yang ditimbulkan akibat ambisi terhadap harta dan kehormatan..” [2]

Hadits di atas telah dijelaskan oleh Imam Ibnu Rajab Rahimahullah dalam sebuah buku tersendiri dan telah diringkas ke dalam bahasa Indonesia serta dimuat di bagian akhir buku “Tabir Hidayah (10 Penghalang Untuk Mengikuti Kebenaran)”.

Kita harus hati-hati, jangan mudah mengklaim orang lain sebagai orang yang lalai dan tenggelam dalam kehidupan dunia. Hal itu nantinya akhirnya nanti akan berbalik kepada diri sendiri, semoga Allah melindungi diri kita semua dari fitnah dunia.

Hidup adalah ujian, hidup ini dipenuhi dengan tantangan, rintangan dan batu sandungan. Hendaklah selalu berdoa kepada Allah agar menyelamatkan kita dari segala ketergelinciran, membahagiakan kita di dunia dan akhirat, memberi kita rezeki yang halal dan memberkahi usaha kita dan melindungi dari rezeki yang haram. Kita mohon kepada Allah agar dikaruniai ilmu yang bermanfaat sehingga dapat membedakan yang halal dan yang haram. Menetapkan kesabaran agar dapat beristiqamah dalam berpegang teguh kepada kebenaran di tengah-tengah badai godaan, bujukan dan rintangan. Semoga Allah menjadikan kita selalu ingat akan kematian dan menjadikan akhir hidup kita di dunia dalam keadaan husnul khatimah.

Imam Syafi’i Rahimahullah berkata,

عَلَيْكَ بِتَقْوَى اللهِ إِنْ كُنْتَ غَافِلاً          يَأْتِيْكَ بِالْأَرْزَاقِ مِنْ حَيْثُ لاَتَدْرِيْفَكَيْفَ
تَخَافُ الْفَقْرَ وَاللهُ رَازِقًا          فَقَدْ رَزَقَ الطَّيْرَ وَالْحُوْتَ فِى الْبَحْرِ
وَمَنْ ظَنَّ أَنَّ الرِّزْقَ يَأْتِيْ بِقُوَّةٍ            مَا أَكَلَ الْعُصْفُوْرُ شَيْئًا مَعَ النَّسْرِ
تَزُوْلُ عَنِ الدُّنْيَا فَإِنَّكَ لاَ تَدْرِيْ      إِذَا جَنَّ عَلَيْكَ اللَّيْلُ هَلْ تَعِيْشُ إِلَى الْفَجْرِ
فَكَمْ مِنْ صَحِيْحٍ مَاتَ مِنْ غَيْرِ عِلَّةٍ      وَكَمْ مِنْ سَقِيْمٍ عَاشَ حِيْنًا مِنَ الدَّهْرِ
وَكَمْ مِنْ فَتًى أَمْسَى وَأَصْبَحَ ضَاحِكًا    وَأَكْفَانُهُ فِى الْغَيْبِ تُنْسَجُ وَهْوَ لاَ يَدْرِيْ
فَمَنْ عَاشَ أَلْفًا وَأَلْفَيْنِ        فَلاَ بُدَّ مِنْ يَوْمٍ يَسِيْرُ إِلَى الْقَبْرِ

Bertakwalah kepada Allah jika kamu lalai
Niscaya dia memberimu rezeki dari jalan yang tidak kamu ketahui
Bagaimana kamu takut kefakiran padahal Allah pemberi rezeki
Dia memberi rezeki kepada burung dan ikan di laut bahari
Barangsiapa menyangka bahwa kekuatan mendatangkan rezeki
Tentu burung pipit kalah dengan burung elang tidak mendapat rezeki
Kamu pasti akan meninggalkan dunia dan kamu tidak mengetahui
Apabila malam tiba apakah kamu akan tetap hidup sampai besok pagi
Berapa banyak orang sehat yang meninggal tanpa sakit lagi
Berapa banyak orang sakit yang tetap hidup bertahun-tahun lagi
Berapa banyak anak muda yang tertawa-tawa ketika sore dan pagi
Padahal kain kafannya sedang dijahit sedang dia tidak menyadari
Barangsiapa dapat hidup seribu atau dua ribu tahun lagi
Ia akan mendatangi kubur dan itu sudah pasti

29 Pelajaran Berharga dari Kisah Dai Cilik
Fariq Gasim Anuz
______
[1] HR. Bukhari. Lihat kitaabul buyuu’, No. 2072 dan Fathul Baari, jilid 4, hal. 355.
[2] HR. Ahmad, An-Nasa’i, At-Tirmidzi dan Ibnu Hibban dalam Shahihnya. Syaikh Muhammad As-Subhi Hasan Hallaq mengatakan, Hadits ini telah dishahihkan oleh At-Tirmidzi, Ibnu Hibban, Al-Albani dan yang lainnya.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/2620-bekerja-untuk-memenuhi-kebutuhan-diri-dan-keluarga-2.html